Dalam hal pengelolaan perikanan, Indonesia terdiri dari sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI), dimana dua lokasi proyek adalah perairan Selat Karimata dan perairan Laut Natuna yang termasuk dalam WPP-RI 711 ( Gambar 1). Terdapat lima provinsi yang berbatasan langsung dengan wilayah yang bersangkutan, yaitu: Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Jambi. Meski demikian, nelayan yang memanfaatkan wilayah perairan tersebut tidak hanya berasal dari kelima provinsi tersebut tetapi juga dari wilayah lain di Indonesia, seperti dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Selain itu, negara lain di kawasan yang terlibat dalam pengelolaan proyek tersebut antara lain Kamboja, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.

  Gambar 1. Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) 711

 

Produk perikanan utama yang didaratkan dari WPP-RI 711 sebagian besar berasal dari perikanan pelagis kecil, pelagis besar, ikan demersal, dan udang. Menurut Sumiono (2014), perikanan tangkap laut di kawasan tersebut ditandai dengan penggunaan berbagai jenis alat tangkap untuk menangkap berbagai jenis jenis ikan. Perlengkapan tersebut didominasi oleh kategori tradisional seperti gillnets (drift gillnet, bottom gillnet, monofilament gillnet, trammel net), jaring perangkap pasang surut (guiding barriers dan stow net), purse seine, lift nets dan perlengkapan lainnya yang dipasang di muara dangkal dan perairan pantai . Roda gigi artisanal seperti gillnet dan trammel net biasanya dipasang di kedalaman hingga 20m. Alat tangkap yang berkontribusi pada sebagian besar pendaratan termasuk pukat cincin untuk ikan pelagis kecil, dan pukat kecil untuk udang dan beberapa ikan demersal.

Pemanfaatan perikanan pelagis sudah dimulai sejak tahun 1970 dengan menggunakan alat tangkap gillnet. Sedangkan perikanan pukat cincin sudah dimulai sejak tahun 1986 yang didominasi oleh nelayan dari Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemangkat dan kabupaten lain dari Sumatera bagian timur. Lebih dari 90% nelayan yang memanfaatkan wilayah perikanan ini berskala kecil dengan menggunakan mesin tempel atau mesin dalam dengan jangkauan kurang dari 5 GT. Distribusi kapal penangkap ikan yang baru-baru ini beroperasi di kawasan ini pada tahun 2015-2017 ditunjukkan di Gambar 2.

 

 

Gambar 2. Distribusi kapal penangkap ikan yang dioperasikan di WPP-RI 711tahun 2015-2016 (PTM = kapal tidak bertenaga, MT = mesin tempel, KM = mesin dalam kapal) (Sumber:Statistik Perikanan Nasional DJBC-KKP Indonesia, 2016)

 

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, total potensi stok ikan di WPP-RI 711 tahun 2017 sebesar 767.126 Ton / Tahun dengan stok ikan pelagis kecil 330.284 Ton / Tahun, ikan pelagis besar 185.855 Ton / Tahun , ikan demersal 131.070 Ton / Tahun, ikan karang 20.625 Ton / Tahun, dan udang penaeid 62.342 Ton / Tahun.

Produksi kelompok spesies utama seperti ikan pelagis kecil, ikan pelagis besar, ikan demersal, ikan karang dan krustasea di wilayah pengelolaan perikanan ini cenderung meningkat dari tahun 2005-2015. Produksi ditampilkan di Gambar 3.

Gambar 3. Produksi Tiap Kelompok Spesies di WPP-RI 711 Tahun 2005-2015 (Sumber: Statistik Perikanan Nasional DJP-KKP, 2016).

 

Meskipun potensi sumber daya ikan meningkat, bukti eksploitasi berlebihan terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Estimasi biologis seperti laju eksploitasi (E) individu perikanan kecil pelagis yang menjadi sasaran utama eksploitasi penangkapan ikan di WPP-RI 711, umumnya menunjukkan angka yang tinggi (E> 0,5), misalnya laju eksploitasi perikanan tangkap di WPP-RI 711. Decapterus russelli, Decapterus macrosoma, dan Rastrelliger kanagurta masing-masing berada di 0,83, 0,77, dan 0,86.

Selain eksploitasi berlebihan, ancaman terhadap kelestarian stok ikan juga datang dari terganggunya pemijahan dan pembibitan sebagai habitat kritis dalam siklus hidup ikan. Untuk itu diperlukan upaya pengelolaan guna melindungi habitat penting tersebut melalui konsep refugia. Fisheries Refugia didefinisikan sebagai wilayah laut atau pesisir yang ditentukan secara spasial dan geografis di mana langkah-langkah pengelolaan khusus diterapkan untuk mempertahankan spesies penting [sumber daya perikanan] selama tahap kritis siklus hidup mereka, untuk pemanfaatan berkelanjutan mereka (UNEP, 2005).